SEJARAH
MEDIA CETAK SEBAGAI SURAT KABAR DI INDONESIA
Surat kabar di Indonesia ditandai
dengan perjalanan panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda,
Penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, zaman orde baru
serta orde baru.
A. ZAMAN BELANDA
A. ZAMAN BELANDA
Koran
pertama yang terbit di Indonesia yakni pada zaman VOC sekitar tahun 1745. Isi
surat kabar pertama tersebut hanya memuat aneka berita tentang kapal dagang
VOC, mutasi pejabat, berita pernikahan, kelahiran dan kematian. Pembacanya pun
masih terbatas warga Belanda sendiri. Judul dari surat kabar tersebut adalah
Bataviasche Nouvelles. Koran ini diterbitkan seminggu sekali sebanyak 4 halaman
yang semua isinya beritanya ditulis tangan. Koran ini kemudian berkembang pesat
dan berubah menjadi koran yang berisi kritik terhadap perbudakan di Batavia dan
perilaku penguasa VOC ketika itu. Tepat pada 20 Juni 1746, koran pertama ini
pun menjadi yang pertama kali dibredel seperti diceritakan dalam buku
"Toko Merah: Saksi Kejayaan Batavia lama di Tepi Muara Ciliwung"
karya Thomas B. Ataladjar. Bataviasche
Nouvelles baru dilanjutkan 30 tahun kemudian oleh Verdu nieuws dengan bentuk
surat kabar mingguan yang hanya berisi iklan saja. Koran lain muncul di tahun
1795, bernama Al Juab sebagai koran berbahasa melayu pertama untuk umum. Koran
ini berisi tentang agama islam tetapi tidak dapat bertahan lama, koran ini mati
di tahun 1824.
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo.
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo.
Di tahun-tahun berikutnya muncul koran-koran lain baik
harian ataupun mingguan. Koran menjadi media utama untuk menyebarkan informasi
dan semakin berkembang setelah kedatangan mesin cetak di Batavia. Kemunculannya
kemudian baik berbahasa melayu ataupun berbahasa Belanda menjadi bagian dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia, terlebih setelah terbitnya koran nasional
pertama, Medan Prijaji.
B. ZAMAN JEPANG
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
C.ZAMAN AWAL
KEMERDEKAAN
Pada awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam sabotase komunikasi. Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Surat kabar perjuangan lainnya antara lain adalah Merdeka yang didirikan oelh B.M Diah, Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Soeara Indonesia pimpinan Manai Sophian di Makassar, Pedoman Harian yang berganti nama Soeara Merdeka di Bandung, Kedaulatan rakyat di Bukit tinggi, serta surat kabar Demokrasi dan Oetoesan Soematra di Padang.
D.ZAMAN ORDE LAMA
Setelah presiden soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan mendapatkan (SIT) surat izin terbit dan surat izin cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini karyawan dibagian setting memperlambat kerja sehingga banyak kolom surat kabar yang tidak terisi menjelang deadline (batas waktu cetak). Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan gratis sebagaimana dialami oleh Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inlah sering terjadi polemic antara surat kabar yang pro PKI dan anti PKI
E.ZAMAN ORDE BARU
Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup sangat menggembirakan, tapi dilain pihak perlu diwaspadai. Karena masih banyak surat kabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial ataupun motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional tanpa adanya norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasian Negara dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat menyebabkan disintegrasi rakyat.
Orde baru ditandai dengan jatuhnya
presiden Soekarno, dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI), dan naiknya
Soeharto menjadi Presiden Indonesia kedua. Surat kabar pro-PKI ditutup. Hanya
surat kabar milik tentara, nasionalis, agama, dan kelompok independen yang
diizinkan terbit: (1) surat kabar tentara: Angkatan Bersenjata, Berita Yudha,
Ampera, Api Pancasila, dan Pelopor Baru; (2) surat kabar nasionalis: Suluh
Marhaen, El Bahar, dan Warta Harian; (3) surat kabar Islam: Duta Masyarakat,
Angkatan Baru, Suara Islam, dan Mercusuar; (4) surat kabar Kristen: Kompas dan
Sinar Harapan.
·
SURAT KABAR TENTARA
·
SURAT KABAR NASIONALIS
·
SURAT KABAR ISLAM
·
SURAT KABAR KRISTEN
Pembatasan pers juga diterapkan oleh
pemerintahan orde baru, Soeharto. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak
sejalan dengan tujuan pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang
menyinggung Cendana dan kroni-kroninya. Pembredelan terbesar terjadi pada saat
peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar dan majalah
dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta
Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia,
Indonesia Pos, dan Ekspress. Berkaitan dengan kebijakan pembredelan itu, Ali
Moertopo (tangan kanan presiden Soeharto) pernah mengatakan bahwa kebebasan
pers yang disalahgunakan dapat mengganggu pembinaan politik, oleh karena itu,
pers harus dikendalikan dan dibina. Kebijakan pembredelan berlangsung hingga
orde baru runtuh pada Mei 1998. Dalam perjalanannya, era orde baru menjadi
saksi lahirnya surat kabar dan majalah besar di Indonesia: Kompas (P. K.
Oetjong dan Jacoeb Oetama), Sinar Harapan (H. G. Rorimpandey), Tempo (Goenawan
Mohamad), Media Indonesia (Surya Paloh), dan lainnya.
F. ERA
REFORMASI (1998-2000)
Era reformasi adalah era kebebasan
pers. Presiden ketiga Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, membubarkan
Departemen Penerangan, biang pembatasan pers pada orde baru yang dipimpin
Harmoko. Surat kabar dan majalah kemudian dibiarkan tumbuh dan menjamur, begitu
juga media-media lainnya: televisi dan radio. Tanpa tekanan; tanpa batasan.
"Informasi adalah urusan masyarakat," kata Gus Dur. Kebebasan ini
kemudian melahirkan raksasa-raksasa media. Disebut raksasa karena hampir semua
lini media digeluti: surat kabar, majalah, televisi, radio, dan website (surat
kabar digital). Mereka adalah Kompas (Jacoeb Oetama), Jawa Pos (Dahlan Iskan),
Media Indonesia (Surya Paloh), Media Nusantara Citra (Hary Tanusoedibjo), dan
Tempo (Goenawan Mohamad). Luar biasanya, media mereka sampai ke daerah-daerah
di seluruh Indonesia.
G. ERA
DIGITALISASI (2000-SEKARANG)
Era digitalisasi ditandai dengan
berkembang pesatnya internet. Perkembangan internet ditandai dengan lahirnya
surat kabar digital melalui media website di internet. Pelopornya adalah
detik.com. Tak lama kemudian, lahirlah surat kabar digital lainnya:
beritanet.com, kompas.com, tempo.co.id, antara.com, dan lainnya.
Komentar
Posting Komentar